Dalam peradaban modern, sains tidak hanya dipandang sebagai sekumpulan pengetahuan atau metode eksperimen, tetapi telah membentuk cara berpikir dan paradigma hidup manusia. Ungkapan “menjadi sains” menggambarkan suatu proses di mana manusia tidak lagi sekadar mempelajari sains, melainkan menjadikannya sebagai landasan untuk memahami realitas, mengambil keputusan, dan memaknai eksistensi. Dalam konteks ini, sains menjadi kerangka berpikir dominan—objektivitas, rasionalitas, dan verifikasi menjadi tolok ukur kebenaran. Namun, di tengah dominasi pendekatan saintifik ini, muncul pertanyaan penting: bagaimana posisi agama dalam kehidupan yang “menjadi sains”?
Agama hadir dengan cara pandang yang berbeda: mengangkat dimensi transendental, moral, dan spiritual manusia. Ia menjawab pertanyaan “mengapa”, bukan hanya “bagaimana”. Jika sains menelusuri hukum-hukum alam, maka agama menyentuh tujuan keberadaan dan makna kehidupan. Ketika sains berkembang dan menjelma menjadi paradigma utama, ada kekhawatiran bahwa dimensi religius dan spiritual akan tersingkir. Namun, justru di sinilah letak urgensi hubungan antara sains dan agama: untuk saling melengkapi, bukan menghapus satu sama lain.
“Menjadi sains” tidak harus berarti menjadi sekuler atau kehilangan nilai-nilai keimanan. Sebaliknya, dalam banyak tradisi agama—termasuk dalam Islam—sains dianggap sebagai bagian dari ibadah intelektual. Mempelajari alam adalah bentuk membaca ayat-ayat Tuhan di luar teks suci (ayat kauniyah), dan hasilnya dapat memperkuat rasa syukur serta pemahaman akan kebesaran-Nya. Dengan demikian, manusia yang “menjadi sains” seharusnya juga semakin bijak secara moral dan semakin rendah hati secara spiritual.