Dalam upaya manusia memahami hakikat kehidupan dan keberadaan, tiga unsur utama sering menjadi rujukan fundamental: akal, wahyu, dan alam semesta. Ketiganya membentuk suatu relasi dialektis yang saling memperkaya dan tidak dapat dipisahkan. Akal adalah anugerah Tuhan yang memungkinkan manusia berpikir, menalar, dan mencari makna di balik fenomena. Wahyu, sebagai petunjuk ilahi, hadir untuk memberi arah dan menjernihkan keterbatasan akal dalam menjangkau kebenaran yang hakiki. Sementara itu, alam semesta adalah kitab terbuka yang menyajikan tanda-tanda kebesaran Sang Pencipta, yang dapat dibaca melalui akal dan ditafsirkan dalam cahaya wahyu.
Dialektika antara ketiganya mencerminkan dinamika epistemologi dalam tradisi keilmuan Islam maupun pemikiran filsafat secara umum. Akal tanpa bimbingan wahyu berpotensi terjebak dalam spekulasi dan relativisme, sementara pemahaman atas wahyu sering kali membutuhkan penalaran logis agar tidak disalahartikan secara tekstual. Alam semesta, dalam konteks ini, bukan hanya objek fisik yang bisa diteliti secara ilmiah, tetapi juga wahana kontemplatif yang memperkuat keimanan dan menegaskan keteraturan serta kebijaksanaan ilahi.
Dengan demikian, hubungan antara akal, wahyu, dan alam semesta bukanlah hubungan yang saling meniadakan, melainkan suatu kesatuan yang koheren. Ketiganya berinteraksi dalam suatu dialektika yang menuntun manusia pada pemahaman yang utuh tentang realitas, baik yang bersifat empiris, rasional, maupun transendental.