Dalam praktik fisioterapi modern, pemahaman terhadap aspek biologis pasien sering kali menjadi fokus utama. Namun, realitas menunjukkan bahwa kondisi fisik tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, budaya, dan psikologis seseorang. Di sinilah pendekatan antropologi memainkan peran penting dalam memperluas cakrawala fisioterapi — dengan menggali dimensi manusia secara holistik.
Antropologi, sebagai ilmu yang mempelajari manusia dalam segala dimensi kehidupannya, memberikan kerangka berpikir kritis terhadap bagaimana individu mengalami sakit, penyembuhan, dan perawatan berdasarkan nilai-nilai budaya dan sistem sosial yang melingkupinya. Dalam konteks fisioterapi, pendekatan antropologis membantu praktisi memahami persepsi pasien terhadap tubuh, gerak, rasa sakit, dan penyembuhan yang kerap kali dibentuk oleh tradisi, kepercayaan lokal, serta hubungan kekuasaan antara pasien dan tenaga kesehatan.
Sebagai contoh, pemaknaan terhadap nyeri atau ketidakmampuan fisik bisa sangat berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Di beberapa budaya, ketahanan terhadap rasa sakit dianggap sebagai kekuatan moral, sementara di tempat lain justru sebagai sesuatu yang harus segera diatasi secara medis. Pemahaman seperti ini penting bagi fisioterapis agar tidak semata-mata menilai kondisi pasien dari parameter biomedis, tetapi juga mempertimbangkan latar belakang sosial-budaya pasien dalam proses diagnosis, komunikasi, hingga intervensi terapi.
Pendekatan antropologi juga membuka ruang bagi fisioterapis untuk menjadi komunikator budaya — menjembatani antara sains medis dan nilai-nilai lokal, serta menciptakan model perawatan yang lebih inklusif, empatik, dan kontekstual. Dengan demikian, fisioterapi tidak hanya menjadi praktik klinis, tetapi juga praktik kemanusiaan yang menghargai keberagaman cara manusia memahami tubuh dan penyembuhan.